Jaksa Agung Setujui Penghentian 5 Kasus Pidana Berdasarkan Restoratif Justice
JAKARTA (Jatengreport.com) - Jaksa Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose yang memutuskan untuk menyetujui penyelesaian 5 dari 6 permohonan perkara melalui mekanisme keadilan restoratif pada Senin, 30 September 2024. Salah satu perkara yang disetujui untuk dihentikan penuntutannya adalah kasus pencurian yang melibatkan Tersangka David Muhamad Zaen bin Suhadi (Alm) dari Kejaksaan Negeri Salatiga. Hal ini disampaikan melalui rilis tertulis oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, Senin (30/9).
Peristiwa pencurian ini terjadi pada 11 Agustus 2024, saat Tersangka David Muhamad Zaen bin Suhadi (Alm) menghadiri konser Rebellion Rose di Alun-Alun Pancasila, Kota Salatiga. Saat konser berlangsung, Tersangka melihat handphone milik Oktavia Fransisca Irigianti, yang tergeletak di samping korban tanpa pengawasan. Tersangka mengambil handphone tersebut dan memberikannya kepada temannya, Khoirul Ikhsanudin bin Rozikin (Alm), untuk disimpan di dalam bagasi sepeda motornya tanpa memberitahukan bahwa handphone tersebut hasil curian.
Korban, yang menyadari kehilangan handphonenya, segera melacak perangkat tersebut melalui aplikasi find my phone dengan mencantumkan kode IMEI. Lokasi handphone tersebut diketahui berada di lahan kosong dekat Poliklinik Polres Salatiga. Ketika fitur dering dari aplikasi tersebut diaktifkan, suara handphone terdengar dari dalam bagasi sepeda motor milik Khoirul Ikhsanudin. Setelah dimintai keterangan, Khoirul menjelaskan bahwa Tersangka-lah yang menitipkan handphone tersebut kepadanya. Tersangka pun akhirnya mengakui perbuatannya.
Mengetahui fakta tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Salatiga, Sukamto, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Ardhana Riswati Prihantini, S.H., dan Jaksa Fasilitator Desta Kurniawan Surbakti, S.H., menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif. Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Korban. Korban pun menerima permintaan maaf tersebut dan tidak mengalami kerugian karena handphonenya telah ditemukan. Korban juga meminta agar proses hukum yang dijalani Tersangka dihentikan.
Setelah tercapai kesepakatan damai antara kedua belah pihak, Kepala Kejaksaan Negeri Salatiga mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Ponco Hartanto, S.H., M.H., yang kemudian menyetujui usulan tersebut. JAM-Pidum akhirnya menyetujui penghentian penuntutan dalam ekspose Restorative Justice pada 30 September 2024.
Selain kasus Tersangka David Muhamad Zaen bin Suhadi (Alm), ada empat kasus lainnya yang juga diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Salah satunya adalah kasus penipuan dan/atau penggelapan yang melibatkan Tersangka Susi Sugianti binti Sakmad (Alm) dari Kejaksaan Negeri Subang. Dalam kasus ini, Tersangka dituduh melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan.
Kasus kedua melibatkan Tersangka Abidul Vikri Nazuriani bin Iman Hermansyah dari Kejaksaan Negeri Kota Sukabumi, yang dituduh melakukan penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP.
Selanjutnya, kasus ketiga melibatkan Tersangka Hendri Wijaya bin Iwan Ahmad dari Kejaksaan Negeri Tulang Bawang Barat, yang didakwa melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
Kasus terakhir yang diselesaikan melalui keadilan restoratif adalah kasus yang menjerat Tersangka Evan Hendra Pratama bin Agus Broto Iriyanto dari Kejaksaan Negeri Metro. Tersangka didakwa melanggar Pasal 312 jo Pasal 231 Ayat 1 huruf a, b, dan c, serta Pasal 310 jo Pasal 229 Ayat 3 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Alasan di balik keputusan penghentian penuntutan untuk kelima perkara ini didasarkan pada beberapa faktor. Pertama, telah terjadi proses perdamaian antara Tersangka dan Korban, di mana Tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf, serta korban memberikan maaf tanpa tekanan. Kedua, semua Tersangka belum pernah dihukum sebelumnya dan baru pertama kali melakukan tindak pidana. Selain itu, ancaman pidana bagi para Tersangka tidak lebih dari lima tahun penjara. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dan masyarakat memberikan tanggapan positif terhadap penyelesaian perkara tersebut.
Namun, tidak semua permohonan penghentian penuntutan disetujui. Permohonan yang diajukan oleh Tersangka Ahmad Roti Thohnan Ulinnuha bin Pagi Thohari dari Kejaksaan Negeri Sragen tidak dikabulkan. Ahmad Roti didakwa melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, dan tindak pidana yang dilakukannya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dasar keadilan restoratif yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020.
Sebagai langkah selanjutnya, JAM-Pidum memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri yang terkait untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif, sesuai dengan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum tentang pelaksanaan penghentian penuntutan sebagai perwujudan kepastian hukum.
tag: berita