Jaksa Agung Setujui Penghentian Penuntutan 4 Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif

images

Nasional

Tim Jateng Report

26 Jul 2024


JAKARTA (Jatengreport.com) - Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum), Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, memimpin ekspose dalam rangka menyetujui empat permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif. Hal ini disampaikan melalu rilis tertulis oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar, Kamis (25/7).

"Salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme ini adalah kasus penganiayaan yang melibatkan Tersangka Prianto alias Pri bin Samsuri dari Kejaksaan Negeri Barito Utara. Tersangka disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan," ungkap Harli Siregar

Peristiwa tersebut bermula ketika Tersangka Prianto alias Pri bin Samsuri ditagih hutang oleh Saksi Korban Dra. Emy Yuliet alias Emy binti Nertian Lenda bersama Saksi Titawaty alias Atit binti Indarson di rumah Tersangka. Dalam proses penagihan hutang tersebut, terjadi percekcokan antara Tersangka dengan Saksi Korban, yang berujung pada tindakan kekerasan oleh Tersangka. Tersangka emosi dan mengancam korban sambil mencari senjata tajam. Ketika senjata tajam tidak ditemukan, Tersangka mencekik leher korban dan menendang perut serta tangan korban. Akibat tindakan tersebut, korban mengalami luka pada leher yang dikuatkan dengan Visum et Repertum.

Mengetahui kasus ini, Kepala Kejaksaan Negeri Barito Utara, Guntur Triyono, S.H., M.H., bersama timnya menginisiasikan penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice. Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban, yang diterima oleh korban dengan permintaan agar proses hukum terhadap Tersangka dihentikan.

Setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Barito Utara mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah. Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, Dr. Undang Mugopal, S.H., M.Hum., setelah mempelajari berkas perkara tersebut, sepakat untuk menghentikan penuntutan dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum. Permohonan ini akhirnya disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis, 25 Juli 2024.

Selain kasus Prianto, JAM-Pidum juga menyetujui tiga perkara lain untuk diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif, yaitu:

Kasus Khamim Atmaja

Tersangka Khamim Atmaja bin Mujito (Alm) dari Kejaksaan Negeri Tapin disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kasus ini melibatkan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban mengalami luka serius. Dalam proses restorative justice, Tersangka Khamim mengakui kesalahannya dan menunjukkan penyesalan yang mendalam, sementara korban dan keluarganya bersedia memaafkan.

Kasus Syah Budi

Tersangka Syah Budi dari Kejaksaan Negeri Asahan juga disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kasus ini serupa dengan kasus Khamim Atmaja, di mana kecelakaan lalu lintas yang terjadi mengakibatkan korban mengalami luka berat. Proses restorative justice dilakukan dengan Tersangka meminta maaf dan korban serta keluarganya memberikan maaf, disertai komitmen dari Tersangka untuk lebih berhati-hati di masa depan.

Kasus Surya Ginting alias Gopal

Tersangka Surya Ginting alias Gopal dari Kejaksaan Negeri Binjai disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Tersangka terlibat dalam perkelahian yang menyebabkan korban mengalami luka ringan. Dalam proses perdamaian, Tersangka Surya Ginting mengakui kesalahannya, meminta maaf kepada korban, dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Korban menerima permintaan maaf dan setuju untuk menyelesaikan perkara ini tanpa melalui persidangan.

Pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan dengan beberapa pertimbangan, antara lain, telah dilaksanakan proses perdamaian di mana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan maaf, tersangka belum pernah dihukum sebelumnya, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara untuk kasus-kasus ini tidak lebih dari 5 tahun.

Selanjutnya, tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan, pertimbangan sosiologis di mana masyarakat merespon positif upaya restorative justice ini.

JAM-Pidum kemudian memerintahkan para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

tag: berita



BERITA TERKAIT