Melihat Fenomena Unik di Wisata Bleduk Kuwu Grobogan
GROBOGAN (Jatengreport.com) - Bledug Kuwu adalah sebuah fenomena gunung api lumpur, seperti halnya yang terjadi di Porong, Sidoarjo. Tetapi sudah terjadi jauh sebelum jaman Kerajaan Mataram Kuno (732M – 928M).
Terletak di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan (Purwodadi). Tempat tersebut dapat ditempuh kurang lebih 28 km ke arah timur dari kota Purwodadi.
Setiap beberapa detik, lumpur akan meletup seiring dengan keluarnya gas dari perut bumi, menghasilkan pemandangan asap putih yang berbahaya, namun cantik. Pemandangan unik sekaligus eksotis ini bisa ditemukan di objek wisata yang berada di Grobogan, Jawa Tengah.
Daya Tarik Bleduk Kuwu
Dari gerbang masuk, pengunjung akan disambut langsung oleh hamparan telaga lumpur berwarna keabuan. Agar bisa melihat letupan lumpur lebih jelas, pengunjung harus berjalan melalui tanah berlumpur yang lembap dan jembatan bambu untuk membantu agar terhindar dari lumpur lembek. Jika tidak hati-hati, alas kaki akan terbenam di lumpur dan agak sulit untuk dilepaskan.
Pemandangan inilah yang banyak menarik wisatawan. Letupan lumpur terjadi disertai dengan pelepasan gas belerang dan menghasilkan asap putih yang membumbung ke udara. Panorama ini terkesan eksotis dan memberikan pengalaman yang berbeda dari wisata alam lainnya. Banyak pengunjung yang sengaja datang untuk mengabadikan fenomena ini atau berfoto dengan latar letupan lumpur di kejauhan.
Terdapat beberapa lokasi letupan lumpur di Bledug Kuwu. Letupan ini terjadi hanya dalam hitungan detik atau menit. Di tengah telaga, terdapat letupan yang paling besar. Ketinggian normal letupannya rata-rata hanya mencapai 3 meter, namun bisa jauh lebih tinggi ketika suhu sedang dingin atau cuaca mendung.
Sejarah Terjadinya Bledhug Kuwu
Dikisahkan, pada sekitar abad ke-7 Masehi, daerah Grobogan termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang Kamolan yang diperintah oleh Dinasti Sanjaya/Syailendra. Salah seorang raja dari dinasti ini adalah Dewata Cengkar, seorang yang konon amat gemar makan daging manusia. Karena kesukaan raja yang aneh tersebut, membuat rakyat merasa ketakutan. Mereka tidak ingin menjadi santapan sang raja yang haus darah itu. Berbagai cara dilakukan untuk melawan sang raja, tetapi semuanya sia-sia saja. Tak ada yang bisa mengalahkan kesaktian sang raja.
Beberapa waktu kemudian, muncullah Ajisaka, seorang pengembara, yang merasa prihatin dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Ajisaka pun kemudian berusaha untuk menghentikan kebiasaan sang raja. Dengan disaksikan oleh ribuan pasang mata, Ajisaka pun menantang adu kesaktian dengan sang raja. Banyak orang yang menyangsikan kemampuan Ajisaka, mengingat tubuhnya yang kecil. Namun apa pun, masyarakat tetap menaruh harapan kepada Ajisaka. Sang raja yang menerima tantangan Ajisaka hanya terbahak-bahak. Raja pun menawarkan, kalau seandainya Ajisaka mampu mengalahkannya, maka Ajisaka berhak memperoleh hadiah berupa separuh wilayah kerajaan. Sebaliknya, jika Ajisaka kalah, maka raja akan memakan tubuh Ajisaka.
Ajisaka pun menyanggupi semua tawaran sang raja. Adapun permintaan terakhir Ajisaka kepada sang raja adalah, jika dia kalah dan tubuhnya dimakan oleh sang raja, Ajisaka memohon agar tulang-tulangnya nanti ditanam dalam tanah seukuran lebar ikat kepalanya. Tentu saja sang raja segera mengiyakan dan sama sekali tidak menduga bahwa ikat kepala Ajisaka itu adalah ikat kepala yang mengandung kesaktian. Ajisaka segera melepas ikat kepalanya dan kemudian menggelarnya di atas tanah. Ajaib, ikat kepala itu berubah menjadi melebar. Raja Dewata Cengkar menggeser tempat berdirinya. Hal itu berlangsung terus seiring dengan makin mebelarnya ikat kepala Ajisaka, sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur di Laut Selatan. Namun Dewata Cengkar tidak mati, sebaliknya, tubuhnya menjelma menjadi bajul (buaya) putih. Sepeninggal Dewata Cengkar, rakyat kemudian menobatkan Ajisaka sebagai raja di Medang Kamolan.
Pada saat Ajisaka memerintah Medang Kamolan, muncullah seekor naga yang mengaku bernama Jaka Linglung. Menurut pengakuannya, dia adalah anak Ajisaka dan saat itu sedang mencari ayahnya. Melihat wujudnya, Ajisaka menolak untuk mengakuinya sebagai anak. Ajisaka pun berusaha menyingkirkan sang naga, tetapi dengan cara yang amat halus. Kepada sang naga, Ajisaka mengatakan akan mengakuinya sebagai anak, jika naga itu berhasil membunuh buaya putih jelmaan Dewata Cengkar di Laut Selatan. Terdorong keinginan untuk diakui sebagai anak, Jaka Linglung pun menyanggupi permintaan Ajisaka untuk membunuh Dewata Cengkar.
Jaka Linglung pun segera berangkat. Oleh Ajisaka, Jaka Linglung tidak diperkenankan melalui jalan darat agar tidak mengganggu ketenteraman penduduk. Sebaliknya, Ajisaka mengharuskan Jaka Linglung agar berangkat ke Laut Selatan lewat dalam tanah. Singkatnya, Jaka Linglung pun sampai di Laut Selatan dan berhasil membunuh Dewata Cengkar. Sebagaimana berangkatnya, kembalinya ke Medang Kamolan pun Jaka Linglung melalui dalam tanah. Dan sebagai bukti bahwa dia telah berhasil sampai di Laut Selatan serta membunuh Dewata Cengkar, Jaka Linglung tak lupa membawa seikat rumput grinting wulung dan air laut yang terasa asin.
Beberapa kali Jaka Linglung mencoba muncul ke permukaan, karena mengira telah sampai di tempat yang dituju. Kali pertama dia muncul di Desa Ngembak (kini wilayah Kecamatan Kota Purwodadi), kemudian di Jono (Kecamatan Tawangharjo), kemudian di Grabagan, Crewek, dan terakhir di Kuwu (ketiganya masuk Kecamatan Kradenan). Di Kuwu inilah, konon Jaka Linglung sempat melepas lelah. Dan tempat munculnya inilah yang kini diyakini menjadi asal muasal munculnya Bledhug Kuwu.
Lokasi Bledug Kuwu
Bledug Kuwu terletak di Jalan Wirosari – Kuwu, Area Sawah, Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Objek wisata ini bisa diakses dengan mudah jika melalui Purwodadi karena kondisi jalan yang lebih baik. Gerbang masuknya berada di pinggir jalan, sehingga mudah untuk ditemukan. (Adv)
tag: Bleduk Kuwu Grobogan