Bukan Tempat Hiburan, MK Akui Spa sebagai Warisan Layanan Kesehatan Tradisional

images

Nasional

Tim Jateng Report

06 Jan 2025


JAKARTA (Jatengreport.com) — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa mandi uap atau spa harus dipahami sebagai bagian dari layanan kesehatan tradisional, bukan sebagai jasa hiburan. Penegasan ini tertuang dalam putusan atas permohonan uji materi Pasal 55 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).  

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan bahwa frasa "dan mandi uap/spa" dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 apabila tidak dimaknai sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional.  

“Penggolongan mandi uap/spa bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar menciptakan ketidakpastian hukum serta stigma negatif terhadap layanan kesehatan tradisional ini,” ujar Hakim Arief dalam sidang putusan, seperti dikutip dari laman resmi MK.

Hakim Arief menjelaskan, pengklasifikasian mandi uap/spa sebagai hiburan menunjukkan pandangan yang keliru. Layanan ini seharusnya dipahami sebagai bagian dari kesehatan yang berakar pada nilai-nilai lokal dan tradisi masyarakat.  

“Layanan kesehatan tradisional, termasuk mandi uap/spa, diakui dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional,” tambahnya.  

Mandi uap/spa dinilai memiliki manfaat kesehatan dengan pendekatan holistik yang mengintegrasikan perawatan tradisional dan modern untuk keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa. MK menegaskan pentingnya pengakuan terhadap nilai tradisional ini untuk mendukung keberlanjutan sistem kesehatan nasional.  

MK mengabulkan sebagian dalil pemohon yang mengajukan keberatan terhadap klasifikasi mandi uap/spa sebagai hiburan. Namun, permohonan pemohon terkait tarif pajak tidak dikabulkan.  

Menurut Hakim Arief, besaran tarif pajak mandi uap/spa yang diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD, yaitu antara 40 hingga 75 persen, merupakan kewenangan pembentuk undang-undang sesuai Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945.  

"Dengan demikian, dalil pemohon terkait tarif pajak tidak beralasan menurut hukum," tegasnya.  

Putusan ini diharapkan memberikan kejelasan hukum dan mendorong pengakuan yang lebih baik terhadap layanan kesehatan tradisional di Indonesia.

tag: berita



BERITA TERKAIT