Bullying di Sekolah Kedokteran, Ironi di Tengah Kebutuhan Mendalam Akan Dokter Spesialis

images

Nasional

Tim Jateng Report

15 Sep 2024


SEMARANG (Jatengreport.com) - Kematian Aulia Risma, seorang dokter muda yang tengah menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), mengungkap sisi kelam yang masih ada dalam pendidikan kedokteran di Indonesia.

Kasus ini mencerminkan masalah yang sudah lama mengakar, di mana bullying menjadi bagian dari perjalanan para dokter muda yang seharusnya didukung dan dibina dengan cara yang lebih manusiawi. Peristiwa ini bukan kasus yang berdiri sendiri.

Pada tahun 2020, seorang peserta PPDS juga mengakhiri hidupnya, diduga kuat akibat tekanan dan perundungan yang dialami selama masa pendidikan.

Kepergian Aulia Risma menjadi ironi di tengah situasi kekurangan dokter spesialis di berbagai wilayah di luar Jawa. Bukannya menjadi sarana pengembangan keterampilan medis yang sangat dibutuhkan, lingkungan pendidikan dokter spesialis justru diwarnai oleh praktik bullying. Masalah ini mencerminkan adanya ketidakberesan dalam sistem pendidikan kedokteran di tingkat PPDS. Ini menunjukkan bahwa reformasi mendasar diperlukan untuk menciptakan pendekatan yang lebih humanis dan mendukung dalam pendidikan dokter spesialis.

Bullying dalam pendidikan kedokteran tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merupakan masalah global. Penelitian internasional mengungkap bahwa sekolah-sekolah kedokteran spesialis memiliki tingkat bullying yang tinggi. Bahkan, studi di Swedia menemukan bahwa selain bullying, mahasiswi PPDS sering kali menjadi korban kekerasan seksual, menunjukkan bahwa setidaknya dua trauma besar dapat menimpa mereka selama masa studi.

Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan mencatat lebih dari seribu pengaduan terkait perundungan atau dugaan perundungan, dengan sekitar 30% laporan tersebut telah diverifikasi sebagai kasus bullying.

Praktik ini melibatkan perlakuan yang merendahkan peserta didik junior, seperti makian dan cacian dari senior, serta tugas-tugas yang tidak berhubungan dengan pendidikan mereka, seperti mengambil cucian atau membayarkan pajak kendaraan senior. Bahkan, beberapa di antaranya mengarah pada kekerasan fisik dan mental serta pemerasan.

Pemerasan ini memberikan beban finansial tambahan kepada mahasiswa, di luar biaya resmi pendidikan. Jika beban ini tidak dipenuhi, keberlangsungan studi mereka dapat terancam.

Selain itu, mahasiswa PPDS juga menghadapi tekanan yang luar biasa, seperti bekerja hingga 80 jam per minggu tanpa bayaran untuk tugas-tugas yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini menyoroti bagaimana sistem pendidikan kedokteran saat ini lebih menekan daripada mendidik.

Berbagai riset menunjukkan bahwa pendekatan pendidikan yang humanis memiliki pengaruh positif pada kualitas pelayanan medis di masa depan. Pendidikan humanistis menekankan pentingnya rasa welas asih, empati, dan komunikasi yang baik dalam berinteraksi dengan pasien. Namun, praktik bullying yang terjadi justru bertolak belakang dengan nilai-nilai ini dan berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental korban serta kualitas layanan kesehatan secara keseluruhan.

Masalah ini melanggar etika dasar profesi medis dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, intervensi kebijakan kelembagaan yang tegas diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Saat ini, polisi telah memulai penyelidikan atas kasus Aulia Risma, tetapi tindakan pencegahan dan penanganan perundungan harus terus berlanjut. Pemerintah perlu melakukan investigasi menyeluruh di fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan untuk memastikan bahwa praktik bullying dihapuskan sepenuhnya. Meskipun sudah ada Instruksi Menteri Kesehatan mengenai pencegahan dan penanganan perundungan, implementasinya di lapangan masih lemah dan belum memberikan efek jera.

Pembentukan satuan tugas khusus anti-bullying di lingkungan pendidikan kedokteran menjadi urgensi. Satgas ini harus terdiri dari berbagai pihak, termasuk universitas, rumah sakit, kementerian terkait, kepolisian, serta ahli independen seperti psikolog, sosiolog, dan ahli hukum. Mereka akan bertugas untuk mengidentifikasi tanda-tanda bullying, mendampingi korban, serta mengampanyekan gerakan anti-bullying yang terintegrasi dalam kurikulum pembelajaran.

Institusi pendidikan kedokteran juga dapat mengoptimalkan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sebagai ujung tombak dalam pencegahan berbagai tindak kekerasan, termasuk perundungan. Selain itu, keterlibatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sangat penting, karena bullying adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Media sosial dapat dimanfaatkan sebagai alternatif posko pengaduan yang lebih aman dan nyaman bagi korban untuk melapor tanpa merasa terancam.

Dukungan moral dari keluarga dan teman juga sangat penting untuk membantu korban mengungkap dan menghadapi perundungan yang mereka alami. Pandangan bahwa perundungan adalah bagian dari pembinaan mental harus dihapus. Pandangan ini hanya memperkuat dominasi senioritas dan hegemoni yang telah mengakar kuat dalam pendidikan PPDS. Kita harus menyadari bahwa hegemoni semacam ini mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan hanya akan menghasilkan dokter dengan mentalitas feodalistis.

Sudah saatnya seluruh elemen dalam pendidikan kedokteran, mulai dari pimpinan institusi, tenaga pendidik, hingga peserta didik, bekerja sama untuk memutus rantai bullying yang telah ada selama puluhan tahun. Reformasi ini tidak hanya penting untuk melindungi hak-hak peserta PPDS, tetapi juga untuk menciptakan dokter yang tidak hanya kompeten secara klinis, tetapi juga memiliki empati dan integritas dalam menjalankan profesinya.

Perubahan ini sangat penting demi masa depan kesehatan masyarakat yang lebih baik. Pendidikan kedokteran harus menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi para calon dokter, sehingga mereka dapat berkembang tanpa rasa takut dan kelak memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat. (Opini)

tag: berita



BERITA TERKAIT