Kejaksaan Agung Setujui 13 Permohonan Penyelesaian Perkara melalui Mekanisme Keadilan Restoratif
SEMARANG (Jatengreport.com) - Jaksa Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, telah memimpin ekspose untuk menyetujui 13 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme keadilan restoratif. Salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme ini adalah kasus Tersangka Moh Lutfi bin Sawi dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Hal ini disampaikan melalui rilis tertulis oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, Rabu (30/7).
"Kronologi kejadian bermula saat Tersangka Moh Lutfi bin Sawi keluar dari rumah dengan berjalan kaki. Ketika tidak sengaja melihat satu unit handphone Samsung Galaxy A24 warna silver milik Saksi Korban Miftakhul Huda di dasbor sepeda motor, tersangka langsung mengambil handphone tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celana pendek sebelah kiri. Tersangka kemudian masuk ke dalam gang Gaduka Utara Surabaya untuk memindahkan handphone tersebut ke depan perutnya dan menutupinya dengan kaos. Aksi ini dilihat oleh warga yang curiga dengan gerak-gerik Tersangka dan akhirnya diamankan oleh pihak kepolisian," ungkap Harli
Tersangka mengaku melakukan perbuatan tersebut karena faktor ekonomi dan keinginannya untuk memiliki sebuah handphone, namun tidak memiliki biaya. Mengetahui kondisi ini, Kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, Ricky Setiawan Anas, S.H., M.H., Kasi Pidum Yusuf Akbar Amin, S.H., M.H., serta Jaksa Fasilitator Herlambang Adhi Nugroho, S.H., menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif. Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Korban. Korban menerima permintaan maaf dan meminta agar proses hukum yang sedang dijalani Tersangka dihentikan. Karena belum ada kerugian yang dialami Saksi Korban, permohonan penghentian penuntutan ini diajukan ke Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., setuju untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum. Permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Selasa, 30 Juli 2024.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 12 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:
- Riadi bin Rubikan dari Kejaksaan Negeri Jombang (Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Perbuatan Penganiayaan).
- Hadrawa bin Tamun dari Kejaksaan Negeri Sumenep (Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan).
- Taufik Hidayatullah bin Mistar dari Kejaksaan Negeri Sumenep (Pasal 80 Ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).
- Oktavian Rizky Waluyo als Tigor bin Panca Waluyo dari Kejaksaan Negeri Surabaya (Pasal 80 Ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak).
- Mohamad Agusalim St bin Alm Mukhson dari Kejaksaan Negeri Kota Kediri (Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan).
- Muhammad Syafiuddin bin Kasmuji dari Kejaksaan Negeri Tuban (Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan).
- Saputra Ananda Suhenda bin Ifan Suhendra dari Kejaksaan Negeri Tuban (Pasal 310 Ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
- Fifing Liasdori dari Kejaksaan Negeri Jember (Pasal 310 Ayat (4) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
- Rachmad Zulfian bin Alm Zulkifli dari Kejaksaan Negeri Tanjung Perak (Pasal 378 KUHP tentang Penipuan jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP).
- Muhammad Helmi bin Ramli dari Kejaksaan Negeri Samarinda (Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan).
- Muhammad Irsan Lestaluhu dari Kejaksaan Negeri Halmahera Tengah (Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan).
- Nadia binti Pauzi dari Kejaksaan Negeri Bangka Barat (Pasal 310 Ayat (3) UU RI No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan).
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diantaranya telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf, tersangka belum pernah dihukum, tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Selain itu, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar, pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif.
JAM-Pidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.
tag: jateng