Komisi D DPRD Jateng Soroti Serius Proyek Jalan Bandungsari–Salem: Tekankan Evaluasi Menyeluruh, Transparansi Lelang, dan Kepastian Penyelesaian
Jateng
Tim Jateng Report
01 Nov 2025
TEGAL (Jatengreport.com) — Proyek peningkatan Jalan Bandungsari–Salem yang semestinya menjadi akses penting bagi masyarakat di wilayah Brebes selatan kembali menjadi perhatian utama Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah.
Tidak rampungnya pekerjaan hingga Provisional Hand Over (PHO) 100% meski progres fisik tercatat mendekati 95 persen, menimbulkan tanda tanya besar mengenai manajemen proyek dan kredibilitas penyedia jasa.
Untuk memastikan kejelasan persoalan tersebut, Komisi D menggelar pertemuan khusus dengan BPJ Wilayah Tegal, Inspektorat, serta Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga & Cipta Karya (DPU BMCK) Provinsi Jateng di Balai Bina Marga Wilayah Tegal, Jumat (30/10/2025).
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari temuan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun 2024 yang menyoroti ketidaktuntasan paket pekerjaan itu.
Rapat dipimpin oleh Anggota Komisi D, Masfui Masduki, yang dalam kesempatan tersebut langsung meminta penjelasan teknis maupun administratif terkait mangkraknya penyelesaian proyek.
Mereka diterima oleh Wahyutoro Soetarno, Kabid Pelaksana Jalan Wilayah Barat Balai Bina Marga Wilayah Tegal.
Masfui menyampaikan bahwa laporan yang diterima Komisi D menunjukkan progres pekerjaan sudah berada di angka 95 persen. Namun demikian, penyelesaian hingga PHO tidak tercapai dan hal itu perlu penjelasan rinci.
“Sebenarnya waktu itu yang terjadi apa? Kalau saya melihat data ini, volume pekerjaan sudah hampir 95 persen. Lalu apa penyebab utama sehingga tidak bisa selesai 100%?” tanya Masfui.
Pertanyaan ini bukan sekadar permintaan klarifikasi, tetapi bentuk komitmen pengawasan DPRD terhadap anggaran pembangunan infrastruktur yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Menjawab pertanyaan tersebut, Wahyutoro mengungkapkan bahwa persoalan utama terletak pada kondisi internal penyedia jasa.
Ia menjelaskan bahwa kontraktor mengalami kendala finansial atau cashflow, sehingga tidak mampu melanjutkan pekerjaan hingga tuntas.
“Penyedia jasa terganjal cashflow perusahaan sendiri. Kami sudah menawarkan alternatif, tetapi karena berbagai pertimbangan, tetap tidak tercapai penyelesaian pekerjaan sampai PHO 100%,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa meski terjadi keterlambatan dan kegagalan penyelesaian, pihak Balai Bina Marga tetap berupaya melakukan komunikasi intensif dengan penyedia jasa.
Termasuk, mendorong mekanisme pengajuan pembayaran dengan pemotongan denda sesuai ketentuan sebagai konsekuensi kontraktual.
“Kami tetap menjalin komunikasi dengan penyedia jasa untuk menyelesaikan pekerjaan dengan skema pembayaran yang dipotong denda dan kewajiban pengembalian,” tambah Wahyutoro.
Anggota Komisi D lainnya, Ariston, menilai kasus ini harus menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah dan OPD terkait. Menurutnya, proses pemilihan penyedia jasa harus diperketat agar kasus serupa tidak kembali terjadi.
Ariston menegaskan bahwa verifikasi terhadap kredibilitas perusahaan harus dilakukan lebih mendalam, termasuk memastikan bahwa penyedia jasa memiliki kemampuan finansial yang sehat dan rekam jejak yang jelas.
“Penyedia jasa harus benar-benar terverifikasi, bahwa ‘bendera’ yang ikut lelang itu betul-betul kredibel. Dan kalau bisa, diutamakan dari lokal wilayah agar lebih terjamin kapasitas, komitmen, dan kekuatan finansialnya,” tegas Ariston.
Pernyataan ini mencerminkan harapan Komisi D agar proyek-proyek strategis daerah tidak lagi dipengaruhi oleh penyedia jasa yang tidak siap secara finansial maupun teknis.
Dalam diskusi tersebut, Komisi D juga mengingatkan bahwa Jalan Bandungsari–Salem merupakan salah satu akses penting yang menghubungkan sentra pertanian dan permukiman masyarakat pegunungan di Salem.
Ketidakselesaian proyek dapat berdampak panjang pada mobilitas, ekonomi lokal, hingga keselamatan pengguna jalan.
Komisi D menilai bahwa pengawasan, mitigasi risiko, dan pemantauan progres harus diperkuat sejak awal agar potensi hambatan dapat ditangani cepat sebelum menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi daerah maupun masyarakat.
Kasus ini juga membuka kembali diskusi penting mengenai mekanisme lelang proyek pemerintah. Komisi D menilai perlunya evaluasi menyeluruh agar perusahaan yang tidak memenuhi syarat, terutama dari sisi kemampuan finansial, tidak lolos seleksi.
Selain itu, pengawasan lapangan oleh DPU BMCK perlu diperkuat, terutama pada titik kritis pelaksanaan proyek yang berpotensi mengalami deviasi progres.
Dalam penutup pertemuan, Komisi D menegaskan bahwa segala bentuk ketidaksesuaian, penundaan, maupun kegagalan penyelesaian proyek tidak boleh dibiarkan.
Langkah tegas harus diambil agar proyek jalan—yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat—tidak batal dinikmati hanya karena persoalan administratif atau manajemen perusahaan.
Komisi D juga menyatakan siap memantau perkembangan lanjutan dan memastikan bahwa rekomendasi BPK ditindaklanjuti secara serius oleh OPD terkait.
Dengan pertemuan ini, DPRD berharap seluruh pihak terkait memperkuat koordinasi dan menerapkan perbaikan sistemik agar proyek-proyek infrastruktur di Jawa Tengah dapat selesai tepat waktu, berkualitas, dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.(Adv)
tag: berita