Pengobatan TBC Resisten Obat Kini Hanya Enam Bulan, Menjadi Harapan Baru bagi Penderita

images

Jateng

Tim Jateng Report

04 Sep 2024


SEMARANG (Jatengreport.com) - Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO) kini bisa dilakukan hanya dalam waktu enam bulan, membawa harapan baru bagi para penderita. Hal ini disampaikan oleh Ketua Yayasan Semar (Semangat Membara Berantas Tuberkulosis) Jawa Tengah, Diky Kurniawan, dalam Workshop Kampanye Panduan Pengobatan Baru TBC RO Berdurasi 6 Bulan (BPaL/M) yang digelar di Hotel Novotel.

Diky, seorang penyintas TBC RO sejak 2014, mengungkapkan bahwa pengobatan di masa lalu sangat berat, dengan durasi pengobatan mencapai dua tahun dan konsumsi obat yang mencapai 26 butir sekali minum, ditambah dengan suntikan. “Obatnya bisa semangkuk sekali minum. Waktu itu, mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijalankan karena tujuannya untuk kesembuhan. Habis minum obat, saya ‘kelenger’ (tidur), tidak bisa ngapa-ngapain,” kenangnya.

Namun, teknologi pengobatan yang berkembang pesat telah mengubah situasi tersebut. Sekarang, pengobatan TBC RO hanya memerlukan enam bulan, dengan dosis obat yang lebih sedikit—sekitar enam butir sekali minum—dan tanpa efek samping yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

“Sekarang, habis minum obat, bisa langsung beraktivitas. Jadi, jangan takut ketika divonis TBC RO. Meski sakit, ada obatnya. Ini adalah kemajuan dan harapan baru bagi penderita TBC RO,” ujar Diky.

Diky juga menekankan pentingnya dukungan masyarakat terhadap penderita TBC, mengingat penyakit ini mudah menular dan berpotensi menyebabkan kematian. Ia mengingatkan agar tidak ada lagi stigma atau diskriminasi terhadap penderita TBC.

Associate Director Yayasan KNCV Indonesia, dr Yeremia PM Runtu, yang juga hadir dalam workshop tersebut, mengajak semua pihak untuk aktif menyosialisasikan pengobatan baru ini, agar TBC bisa dihilangkan dari masyarakat. “Kemajuan pengobatan baru untuk TBC resisten obat bisa dinikmati juga di Jawa Tengah, khususnya di Kota Semarang,” ungkapnya.

Yeremia menjelaskan bahwa dulu, TBC RO hanya ditemui pada penderita yang putus pengobatan atau kambuh, tetapi sekarang ada juga penderita TBC RO yang primer, yakni mereka yang langsung mengalami resistensi obat setelah pertama kali terinfeksi TBC. Hal ini terjadi karena penularan TBC yang bersifat airborne, di mana kumannya bisa bermutasi menjadi lebih kuat.

Ia mengingatkan bahwa dampak utama dari TBC yang tidak diobati adalah kematian, dengan jumlah korban lebih tinggi dibandingkan dengan Covid-19. Selain itu, TBC juga memiliki dampak sosial ekonomi yang signifikan, seperti penurunan produktivitas dan stigma sosial yang mengakibatkan penderita kehilangan pekerjaan, keluarga, dan dukungan sosial.

“Oleh karena itu, kita harus cegah, dengan menemukan penderita, dan mengobati sampai sembuh (TOSS),” tandas Yeremia.

tag: berita



BERITA TERKAIT